Suaratekno.com – Tahun 2018 ditutup dengan kinerja operator selular yang tidak memuaskan. Pertama kalinya setelah lebih dari tiga dekade, terjadi negative growth sebesar 7,4%.

Padahal, meski terus mengecil, dalam dua tahun sebelumnya (2016 dan 2017), industri selular masih tumbuh masing-masing sebesar 10% dan 9%. Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan minus itu dipicu oleh tiga faktor utama. Pertama, kebijakan registrasi prabayar yang memangkas jumlah pengguna SIM card.

Kedua, menurunnya penggunaan legacy service (SMS dan voice) karena maraknya layanan OTT sejenis. Dan ketiga, perang tarif khususnya data yang tak kunjung usai. Alhasil, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya – meski bervariasi – rapor semua operator, termasuk Telkomsel, tak lagi menggembirakan.

Terdapat lima parameter utama yang menjadi indikator kesehatan operator, yakni total pendapatan, laba bersih, EBITDA, market share dan jumlah pelanggan. Sebelum mengulik pencapaian dan tantangan Telkomsel, mari kita kuliti satu persatu kinerja dua pesaing terdekat, Indosat Ooredoo dan XL Axiata.

Diantara the big three, Indosat Ooredoo menjadi operator yang paling anjlok kinerjanya. Laporan keuangan 2018 menunjukkan, perusahaan yang dulunya pernah menjadi BUMN ini, menelan rugi bersih sebesar Rp 2,4 triliun. Padahal pada 2017 masih mencatatkan laba Rp 1,13 triliun.

Memburuknya keuangan Indosat disebabkan menukiknya pendapatan hingga 22,68% atau Rp 6,6 triliun. Pendapatan operator yang identik dengan warna kuning itu, pada 2018 tercatat hanya Rp 23,14 triliun. Menurun tajam dibandingkan Rp 29,93 triliun setahun sebelumnya.

Menciutnya pendapatan membuat EBITDA Indosat juga rontok. Pada 2017, anak usaha Ooredoo Qatar itu masih mampu mencetak EBITDA sebesar Rp 10.788 triliun.

Bahkan di 2016, EBITDA Indosat masih sebesar Rp 11.063 triliun. Namun pada akhir 2018 amblas sangat dalam, hanya sebesar Rp 4.972 triliun.

Penderitaan Indosat masih berlanjut, karena dalam dua parameter penting lainnya juga menurun tajam, yakni market share dan total jumlah pelanggan.

Diketahui pangsa pasar Indosat pada 2016, masih cukup signifikan mencapai 18,2%. Lalu turun sebesar 14,4% di 2017. Apa daya, menciut lagi menjadi 13,8% di akhir 2018.

Begitu pun dengan jumlah pelanggan. Program registrasi prabayar benar-benar menjadi mimpi buruk bagi Indosat. Tercatat, total pelanggan menurun drastis hingga 47,3%. Dari sebelumnya 110,2 juta pada 2017 menjadi hanya 58 juta di akhir 2018.

Hal yang sama juga mendera XL Axiata. Namun dibandingkan Indosat, kinerja XL terbilang masih cukup baik. Anak usaha Axiata Berhad ini, mencatat kerugian bersih Rp 3,30 triliun. Padahal pada 2017, XL masih mencetak laba sebesar Rp 375,24 miliar.

Lonjakan kerugian ini terutama berasal dari beban penyusutan dan amortisasi yang mencapai Rp 11,62 triliun di tengah pendapatan usaha yang cenderung stagnan.

Tercatat, sepanjang 2018 XL mencetak pendapatan Rp 22,94 triliun. Pendapatan ini hanya naik 0,27% jika dibandingkan 2017 yang mencapai Rp 22,87 triliun.

Meski merugi karena pendapatan nyaris flat, namun dalam tiga parameter lainnya, yakni EBITDA, market share dan jumlah pelanggan, XL justru mencatat pertumbuhan positif.

Dalam tiga tahun terakhir, EBITDA XL terus meningkat, yakni Rp 8.058 triliun (2016), Rp 8.320 triliun (2017) dan Rp 8.512 triliun (2018).

Ditengah menurunnya kinerja semua operator, XL Axiata tercatat menjadi satu-satunya operator yang mencatat pertumbuhan EBITDA positif.

Begitu pun dengan market share yang terus mengalami peningkatan. Masing-masing 10,2% (2016), 16,3% (2017), dan 17,7% (2018). Menurunnya performa Indosat, tampaknya dimanfaatkan dengan baik oleh XL untuk memperluas pangsa pasar.

Dari sisi jumlah pengguna, XL juga mampu meminimalisir dampak dari kebijakan registrasi prabayar. Jika operator lain menciut, pelanggan XL justru naik, meski pun tipis. Dari 53,5 juta pada 2017, menjadi 54,9 juta di akhir 2018.